Memperkuat Solidaritas Global Dengan Pendidikan

Pendidikan masa depan perlu didesain untuk dapat mengatasi tantangan umat manusia yang semakin kompleks. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan masa depan yang definisinya bisa disesuaikan dengan budaya dan latar belakang setiap negara guna memperkuat semangat solidaritas global.

Solidaritas Global

UNESCO menyoroti pentingnya solidaritas global dalam visi pendidikan dunia tahun 2050. Pendidikan disadari harus mampu bertransformasi seiring tantangan umat manusia yang semakin kompleks, sebagaimana ditunjukkan oleh pandemi Covid-19. UNESCO mengeluarkan dokumen visi pendidikan 2050 Reimagining Our Futures Together yang diluncurkan pada 10 November 2021. Masa depan (futures) berlaku jamak karena setiap masyarakat berhak mendefinisikannya sesuai budaya dan latar belakang masing-masing. Visi pendidikan 2050 menggarisbawahi kebutuhan akan solidaritas global.

Dicontohkan bahwa perlu upaya kolaboratif untuk dapat menyelamatkan bumi akibat eksploitasi kebutuhan dan gaya hidup manusia. Saat ini dibutuhkan 1,6 bumi atau hampir 2 bumi untuk memenuhi jejak karbon manusia. Padahal, kita hidup dalam satu bumi.

Masalah

Masalah lainnya adalah turunnya demokrasi dan bangkitnya supremacism dan chauvinism. Di samping itu, kesenjangan digital menghambat akses pada pendidikan, terutama saat pandemi serta munculnya kecerdasan digital yang diprediksi bisa menghilangkan banyak pekerjaan di dunia.Semua ini kuncinya adalah bagaimana solidaritas global. Sudah disadari, banyak problem kehidupan manusia yang membutuhkan solusi bersama-sama untuk seluruh penduduk bumi.

Visi pendidikan 2050 mendorong semua pihak menyusun kontrak sosial baru terdiri dari nilai dasar, desain pembelajaran, serta aktivitas dan pelaku. Dokumen visi pendidikan UNESCO terbaru ini merupakan dokumen ketiga setelah Learning to be: the world of education today and tomorrow (1972) dan Learning: the treasure within (1966). Penyusunan dokumen melibatkan sekitar satu juta orang, terutama lewat konsultasi daring dan disusun sebelum pandemi Covid-19.

Pendidikan di Indonesia telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan berupa lembaga pendidikan tradisional berbasis agama. Pondok pesantren muncul sebagai pendidikan berbasis agama Islam di kantong-kantong perjuangan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah.

Indonesia dengan realita kehidupan aneka ragam, termasuk agama, adalah ciri atau karakter bangsa. Di situ, dituntut kesediaan toleransi, saling menghargai, dan tenggang rasa. Maka, muatan berkaitan semangat inklusif yang diprakarsai lembaga pendidikan keagamaan termasuk madrasah menjadi sangat penting.

Kolaborasi

Dokumen UNESCO tentang visi pendidikan 2050 semakin menegaskan pentingnya empati dan simpati dengan siapa pun yang berbeda untuk membangun kolaborasi. Upaya dalam memperbaiki kualitas manusia lewat pemantapan akidah/tauhid tidak melulu dikaitkan dengan gerakan radikalisme dan terorisme. Landasan teologi yang kuat dan benar mampu menghadirkan pribadi-pribadi sangat inklusif. Pendidikan harus dirancang dengan prinsip profesionalisme, mendalam, saling terhubung, kerja sama, kesetaraan, dan inklusi.

Salah satu kunci menghadapi tantangan global ke depan seperti digambarkan UNESCO adalah solidaritas kemanusiaan yang kokoh, saling memahami, dan menghormati, serta bekerja sama dengan orang yang berbeda. Maka, kesiapan bangsa kita menghadapi tantangan global ikut ditentukan kemampuan pendidikan untuk memperkokoh solidaritas kemanusiaan.

Pengembangan visi pendidikan 2050 UNESCO adalah lewat pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang mencakup tiga kompetensi untuk berkolaborasi dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan.

sumber : kompas.id

Recommended For You

About the Author: SudutEdukasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *