Berangkat dari realita dalam dunia pendidikan kita hingga saat ini, bahwa menumbuh kembangkan berpikir kritis dan analitis, serta pendidikan nilai dalam pembelajaran sejarah masih perlu untuk terus ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan peraturan Mendikbud Republik Indonesia nomor 21 tahun 2016. Salah satu butirnya berbunyi “mengevaluasi suatu peristiwa sejarah berdasarkan kesahihan sumber dan penafsiran penulisnya”. Terlebih untuk beberapa materi sejarah kontroversial, yang begitu sensitif. Salah satu contoh materi tersebut adalah “Peristiwa 1965”.
Ketika Orde Baru runtuh bermunculan gugatan masyarakat terhadap sejarah versi pemerintah. Buku buku baru bermunculan mengupas tentang peristiwa tersebut. Sejarah pun menjadi polemik. Banyak pakar dan ahli sejarah membahas dan menganalisis peristiwa tersebut hingga saat ini. Kendati demikian peristiwa tersebut belum terungkap dengan jelas. Hal ini dapat dilihat dari munculnya beberapa versi dan sudut pandang yang berbeda-beda atas peristiwa tersebut.
Dalam situasi kekaburan peristiwa sejarah ini buku paket sebagai sumber belajar siswa tidak lagi cukup untuk dapat membantu siswa dalam mengkritisi dan menganalisis peristiwa tersebut. Peristiwa 1965 merupakan sebuah materi yang cukup berat untuk siswa, sehingga dalam memahaminya perlu sikap kritis dan membangun kemampuan menganalisis peristiwa. Proses untuk mengkritisi dan menganalisis peristiwa tersebut menjadi terhambat ketika siswa dan guru hanya berpegang pada sumber belajara berupa buku paket. Kurang atau tidak digunakannya sumber lain sebagai pendamping menyebabkan kebuntuan berpikir dalam membangkitkan kekritisan siswa terhadap peristiwa tersebut. Berpikir kritis menjadi sangat penting dalam belajar sejarah karena inilah yang sebenarnya menuntun siswa untuk memahami makna sejarah.
Peristiwa ini juga syarat akan nilai-nilai kemanusiaan yang perlu untuk disampaikan kepada siswa secara tepat, dengan harapan siswa dapat memahami dan belajar dari nilai-nilai peristiwa masa lampau. Situasi atau keadaan semacam ini perlu diperhatikan oleh guru, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien. Oleh karena itu guru harus dapat memilih strategi dan metode pembelajaran untuk materi “Peristiwa 1965”.
Baca juga : Agenda Pendidikan G20 dan Digitalisasi Sekolah
Sebelum menentukan tujuan pembelajaran guru hendaknya mengenali karakteristik materi pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Sebagai ilustrasinya adalah materi “Peristiwa 1965” sendiri. Peristiwa ini merupakan kontroversial yang menunjukkan adanya kejanggalan-kejanggalan yang bertentangan dan berbeda dengan versi sejarah yang selama ini disampaikan. Bahkan kontroversial itu tampak pada pembicara dalam acara Indonesia Lawyers Club tanggal 19 September 2017 dengan tema “PKI, hantu atau nyata?”. Berkaitan dengan ini tentunya siswa perlu dilatih dalam mengkritisi peristiwa tersebut dengan menganalisisnya dan membandingkan berbagai sumber sejarah yang ada.
Mengingat siswa yang belajar sejarah terdiri dari berbagai tingkatan, maka perlu pembelajaran dengan analisis secara bertahap. Untuk itu maka penggunaan hierarki klasifikasi kemampuan berpikir “Taksonomi Bloom” yang diperkenalkan oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956 yang memiliki tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotor adalah salah satu cara yang bijak dalam mengembangkan kompetensi peserta didik.
Tahap pertama yaitu dengan C1 (pengetahuan/knowladge) pada jenjang ini menekankan pada kemampuan dalam mengingat kembali materi yang telah dipelajari, misalnya dengan mengingat bahwa pada tanggal 30 September tahun 1965 PKI melancarkan gerakan perebutan kekuasaan yang dikenal dengan G 30 S/PKI menyebabkan terbunuhnya beberapa perwira Angkatan Darat kemudian jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di Lubang Buaya. Tingkatan atau jenjang ini merupakan tingkatan terendah namun menjadi prasyarat bagi tingkatan selanjutnya. Di jenjang ini peserta didik menjawab pertanyaan berdasarkan dengan hapalan saja.
Pada tingkat SMA dapat diteruskan dengan aplikasi C2 (pemahaman/comprehension). Pada tahap ini kemampuan siswa meliputi translasi, interpretasi dan ekstrapolasi. Dijenjang ini peserta didik menjawab pertanyaan dengan kata-katanya sendiri dengan memberikan contoh baik prinsip maupun konsep. Misalnya menjawab pertanyaan mengapa terjadi “peristiwa 1965’ ?
Selanjutnya diberikan kebebasan pada siswa untuk mengembangkan pengetahuan terhadap ”peristiwa 1965” pada tingkat C3 (penerapan/Aplication), C4 (Analisis), C5 (sintesis), sampai C6 (evaluasi) berdasarkan minat dan kemampuannya. Pada jenjang ini dimungkinkan peserta didik dapat: (1) menerapkan konsep dan prinsip yang ia miliki pada situasi baru yang belum pernah diberikan sebelumnya, (2) menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian menemukan asumsi dan membedakan pendapat dan fakta serta menemukan hubungan sebab akibat, (3) menghasilkan hipotesis atau teorinya sendiri dengan memadukan berbagai ilmu dan pengetahuan, (4) mengevaluasi informasi termasuk di dalamnya melakukan pembuatan keputusan dan kebijakan.
Perkembangan pemikiran peserta didik tidak selamanya harus sesuai hierarki klasifikasi kemampuan berpikir Taksonomi Bloom. Ada kalanya, proses pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja tergantung kreasi, kemampuan dan minat tiap peserta didik. Namun demikian, memang diakui bahwa pentahapan itu sebenarnya cocok untuk proses pembelajaran yang terintegrasi. Yang terpenting bahwa belajar “peristiwa 1965” tetap berada pada koridor dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Diterbitkan pada Majalah Dunia Pendidikan Edisi No. 217 November 2017