
Analisis Mendalam dan Tren Persebaran PBM yang Tidak Terlaksana pada sebuah sekolah . Pembelajaran merupakan komponen fundamental dalam proses pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Dalam konteks sekolah, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran harus terstruktur dan efektif agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara menyeluruh. Namun, dalam praktiknya, terkadang terdapat kendala yang menyebabkan sebagian proses pembelajaran tidak terlaksana sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Hal ini dapat berdampak negatif pada pencapaian kompetensi peserta didik dan kualitas pendidikan secara umum.
Oleh karena itu, analisis terhadap persebaran perencanaan proses belajar yang belum atau tidak terlaksana menjadi penting untuk mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan strategi perbaikan yang tepat. Laporan ini bertujuan untuk mengkaji data ketidakterlaksanaan pembelajaran di UPTD SMPN 3 Sinjai pada bulan September 2025, agar dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai tren dan pola yang terjadi serta rekomendasi strategis untuk meningkatkan efektivitas proses belajar mengajar di sekolah tersebut.
Gambaran Umum
Data analisis September 2025 menunjukkan permasalahan signifikan dalam keterlaksanaan pembelajaran di UPTD SMPN 3 Sinjai dengan 299 jam pembelajaran tidak terlaksana yang tersebar di 10 rombongan belajar. Dari 26 guru yang tercatat, 88,5% (23 guru) memiliki pembelajaran yang tidak terlaksana, sementara hanya 3 guru (11,5%) yang mencapai tingkat keterlaksanaan 100%. Angka ini mengindikasikan permasalahan sistemik dalam pengelolaan pembelajaran yang memerlukan intervensi komprehensif.
Distribusi Berdasarkan Tingkat Kelas
Distribusi pembelajaran tidak terlaksana menunjukkan pola yang hampir merata di semua tingkat dengan variasi minimal. Kelas IX memiliki jumlah tertinggi dengan 102 jam (34,1%), diikuti Kelas VII dengan 99 jam (33,1%), dan Kelas VIII dengan 98 jam (32,8%). Pola ini menunjukkan bahwa permasalahan ketidakterlaksanaan pembelajaran bersifat horizontal dan tidak terfokus pada tingkat tertentu.
Namun, ketika dianalisis per kelas, muncul disparitas yang signifikan. Analisis Kelas VII C mencatat rekor tertinggi dengan 49 jam tidak terlaksana (16,4% dari total), hampir dua kali lipat dari kelas dengan masalah teringan (VIII C dengan 20 jam). Kesenjangan 29 jam antara kelas tertinggi dan terendah mengindikasikan inkonsistensi pengelolaan pembelajaran antar rombongan belajar.

Variabilitas antar kelas paralel juga menunjukkan pola yang perlu diwaspadai. Analisis Kelas VII memiliki standar deviasi tertinggi (11,58) dengan rentang 27 jam, menunjukkan ketidakmerataan distribusi masalah yang sangat tinggi. Kelas VIII menunjukkan konsistensi lebih baik dengan standar deviasi 4,39 dan rentang 11 jam, sementara Kelas IX berada di posisi tengah dengan standar deviasi 6,53. Variasi tinggi pada Kelas VII mengindikasikan kebutuhan evaluasi khusus terhadap faktor-faktor yang memengaruhi keterlaksanaan pembelajaran di tingkat tersebut.
Baca juga: Refleksi dan Perbaikan Pembelajaran Guru pada Rapor Pendidikan
Analisis Berdasarkan Mata Pelajaran
IPA Terpadu mendominasi dengan 58 pertemuan tidak terlaksana (19,4%), diikuti IPS Terpadu dengan 44 jam (14,7%), dan Bahasa Inggris dengan 38 jam (12,7%). Analisis Tiga mata pelajaran ini menyumbang 46,8% dari total pembelajaran tidak terlaksana, menunjukkan konsentrasi masalah pada rumpun tertentu.

Ketika hasil analisis dikelompokkan berdasarkan rumpun mata pelajaran, Sosial & Humaniora (IPS, PKn, PAI) memiliki masalah terbesar dengan 95 jam (31,8%), diikuti Sains & Matematika dengan 77 jam (25,8%), dan Bahasa dengan 73 jam (24,4%). Sementara itu, Seni & Olahraga serta Keterampilan masing-masing hanya 27 jam (9,0%), menunjukkan tingkat keterlaksanaan yang lebih baik pada mata pelajaran non-akademik utama.
Pola ini konsisten dengan literatur yang menunjukkan bahwa mata pelajaran dengan beban kognitif tinggi dan tuntutan kurikulum padat cenderung mengalami kendala keterlaksanaan lebih besar. Keterbatasan waktu dan kompleksitas materi menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi keterlaksanaan pembelajaran
Profil Guru dan Tingkat Keparahan
Aidal Yanhar S.Pd (Bahasa Inggris) mencatat pembelajaran tidak terlaksana tertinggi dengan 34 jam, tersebar di 6 rombongan belajar dengan konsentrasi tertinggi di Kelas IX B (10 jam) dan VII C (8 jam). Pola distribusi yang tidak merata ini mengindikasikan kemungkinan masalah beban mengajar, jadwal yang kurang optimal, atau faktor personal yang perlu ditelusuri lebih lanjut.

Lima guru dengan pembelajaran tidak terlaksana terbanyak menunjukkan pola distribusi horizontal yang luas. Nurlita S.Pd (Seni Budaya) dan Muhammad Azwar Hasyim S.Pd (IPS Terpadu) masing-masing 24 jam, Darmawati Ismail S.Pd.I (PAI) 23 jam, dan Salmah S.Pd (IPA) 23 jam. Keempat guru ini mengajar di multiple rombongan belajar, mengindikasikan kompleksitas pengelolaan jadwal dan beban mengajar sebagai faktor kontributif.
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan menunjukkan distribusi piramida terbalik yang mengkhawatirkan. Hanya 1 guru (3,8%) berada di kategori Kritis (>30 jam), namun 5 guru (19,2%) di kategori Tinggi (21-30 jam). Sebanyak 7 guru (26,9%) di kategori Sedang (11-20 jam), dan 10 guru (38,5%) di kategori Rendah (1-10 jam). Meskipun mayoritas berada di kategori rendah, fakta bahwa 23% guru berada di kategori Kritis dan Tinggi menunjukkan kebutuhan intervensi prioritas.
Tiga guru yang mencapai tingkat keterlaksanaan 100% adalah Najamuddin S.Pd (Bahasa Indonesia), Abd. Rahman S.Pd (PJOK), dan Hasbiah S.Pd (Matematika). Profil guru-guru ini dapat menjadi best practice untuk dipelajari dan didiseminasikan kepada guru lain sebagai model pengelolaan pembelajaran yang efektif.
Tren dan Pola Kritis
Rata-rata pembelajaran tidak terlaksana per kelas menunjukkan pola U-terbalik: Kelas VII rata-rata 33,0 jam per kelas, Kelas VIII turun menjadi 24,5 jam, namun Kelas IX meningkat kembali menjadi 34,0 jam. Pola ini mengindikasikan bahwa Kelas VIII memiliki pengelolaan pembelajaran lebih baik, sementara Kelas VII dan IX menghadapi tantangan serupa meskipun dengan konteks berbeda.
Kelas VII yang masih dalam tahap adaptasi dari SD ke SMP mungkin mengalami kesulitan penyesuaian jadwal dan manajemen waktu. Sementara Kelas IX yang menghadapi persiapan ujian akhir dan tekanan akademik tinggi kemungkinan mengalami redistribusi waktu pembelajaran yang tidak optimal.
Konsistensi guru lintas kelas menjadi indikator penting. Guru dengan pembelajaran tidak terlaksana tinggi menunjukkan pola distribusi yang tidak merata antar kelas. Misalnya, Aidal Yanhar S.Pd memiliki rentang 2-10 jam tidak terlaksana antar kelas yang berbeda, mengindikasikan faktor eksternal seperti jadwal bentrok, kondisi kelas, atau dinamika siswa yang berbeda-beda antar rombongan belajar.
Faktor Penyebab Sistemik
Berdasarkan literatur dan pola data, beberapa faktor sistemik yang berkontribusi terhadap ketidakterlaksanaan pembelajaran mencakup:
Keterbatasan Waktu dan Beban Administratif. Guru di Indonesia sering menghadapi beban administratif tinggi yang mengurangi fokus pada pelaksanaan pembelajaran. Penyusunan RPP, pelaporan, dan tugas non-mengajar menghabiskan waktu signifikan yang seharusnya dialokasikan untuk pembelajaran efektif.
Ketidaksesuaian Alokasi Waktu Kurikuler. Struktur kurikulum dengan alokasi waktu yang tidak mencukupi menjadi hambatan utama. Materi yang padat dengan waktu terbatas memaksa guru melakukan kompresi pembelajaran atau bahkan melewatkan beberapa pertemuan.
Keterbatasan Sarana dan Prasarana. Mata pelajaran seperti IPA yang memerlukan praktikum sering terkendala keterbatasan laboratorium dan alat peraga. Hal ini menyebabkan pembelajaran tidak dapat terlaksana sesuai rencana karena memerlukan substitusi metode yang memakan waktu lebih lama.
Faktor Dinamika Sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler, rapat, pelatihan guru, dan event sekolah sering mengganggu jadwal pembelajaran reguler. Tanpa koordinasi yang baik, aktivitas-aktivitas ini dapat mengurangi jumlah pertemuan efektif.
Manajemen Kelas dan Perencanaan. Inkonsistensi antar kelas paralel mengindikasikan perbedaan kemampuan manajemen kelas dan perencanaan guru. Guru yang kurang terlatih dalam mengelola waktu dan sumber daya cenderung mengalami pembelajaran tidak terlaksana lebih banyak.
Implikasi terhadap Kualitas Pembelajaran
Ketidakterlaksanaan 299 jam pembelajaran dalam satu bulan memiliki implikasi serius terhadap kualitas pendidikan. Setiap pertemuan yang tidak terlaksana berarti kehilangan kesempatan siswa untuk mencapai kompetensi yang ditargetkan. Dalam konteks pembelajaran berbasis kompetensi, akumulasi pembelajaran yang tidak terlaksana dapat menyebabkan gap pengetahuan yang signifikan.
Penelitian menunjukkan bahwa keterlaksanaan RPP yang rendah berkorelasi negatif dengan hasil belajar siswa. Ketika pembelajaran tidak terlaksana sesuai rencana, guru cenderung melakukan “catch-up teaching” yang tergesa-gesa, mengurangi kedalaman pemahaman siswa.
Untuk guru dengan kategori Kritis dan Tinggi (6 guru, 23%), risiko ketidakmampuan mencapai target kurikulum sangat besar. Akumulasi pembelajaran tidak terlaksana dapat mencapai ratusan pertemuan per tahun, menyebabkan sebagian besar kompetensi dasar tidak tercapai.
Rekomendasi Strategis
Intervensi Prioritas untuk Guru Kategori Kritis dan Tinggi. Enam guru dengan pembelajaran tidak terlaksana di atas 20 jam memerlukan pendampingan intensif. Supervisi akademik, coaching, dan redistribusi beban mengajar perlu dipertimbangkan untuk mengurangi tekanan.
Evaluasi dan Optimalisasi Jadwal Pembelajaran. Analisis jadwal untuk mengidentifikasi bentrok, gaps, dan inefisiensi. Khususnya untuk Kelas VII C yang memiliki masalah tertinggi, perlu dilakukan kajian mendalam tentang struktur jadwal dan alokasi guru.
Penguatan Kapasitas Manajemen Waktu Guru. Pelatihan khusus dalam time management, lesson planning yang efektif, dan strategi pembelajaran yang efisien perlu diberikan. Guru yang mencapai keterlaksanaan 100% dapat menjadi mentor bagi guru lain.
Optimalisasi Sarana Prasarana untuk Mata Pelajaran Prioritas. Dengan IPA Terpadu memiliki masalah tertinggi (58 jam tidak terlaksana), investasi dalam laboratorium portable, alat peraga sederhana, dan digitalisasi praktikum dapat mengurangi kendala.
Penyesuaian Alokasi Waktu Kurikuler. Koordinasi dengan dinas pendidikan untuk mengevaluasi kesesuaian antara beban kurikulum dengan alokasi waktu. Jika perlu, dilakukan rasionalisasi materi atau penambahan jam pelajaran untuk mata pelajaran dengan beban tinggi.
Sistem Monitoring dan Evaluasi Berkala. Implementasi dashboard digital untuk tracking keterlaksanaan pembelajaran real-time. Sistem early warning dapat mengidentifikasi guru atau kelas yang mulai mengalami akumulasi pembelajaran tidak terlaksana sejak dini.
Reduksi Beban Administratif Non-Esensial. Evaluasi ulang tugas-tugas administratif yang tidak berdampak langsung pada kualitas pembelajaran. Implementasi sistem digitalisasi administrasi dapat mengurangi beban waktu guru.
Pembelajaran dari Best Practice. Studi mendalam tentang strategi yang digunakan oleh tiga guru dengan keterlaksanaan 100%. Diseminasi best practice melalui lesson study, peer observation, dan komunitas praktik profesional.
Kesimpulan
Data September 2025 mengungkapkan permasalahan keterlaksanaan pembelajaran yang sistemik di UPTD SMPN 3 Sinjai dengan 299 jam tidak terlaksana dan 88,5% guru terdampak. Konsentrasi masalah pada mata pelajaran akademik utama (IPA, IPS, Bahasa), disparitas tinggi antar kelas paralel (terutama Kelas VII), dan 23% guru di kategori Kritis-Tinggi menunjukkan kebutuhan intervensi multi-level yang terstruktur.
Tren menunjukkan bahwa permasalahan bersifat sistemik dan bukan individual, dengan faktor keterbatasan waktu, beban administratif, sarana prasarana, dan manajemen pembelajaran sebagai kontributor utama. Tanpa intervensi komprehensif, akumulasi pembelajaran tidak terlaksana dapat mengancam pencapaian standar kompetensi lulusan dan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Implementasi rekomendasi strategis yang berfokus pada supervisi intensif, optimalisasi jadwal, penguatan kapasitas guru, dan sistem monitoring digital diharapkan dapat menurunkan angka pembelajaran tidak terlaksana secara signifikan pada bulan-bulan mendatang. Keberhasilan tiga guru dengan keterlaksanaan 100% membuktikan bahwa target keterlaksanaan penuh dapat dicapai dengan strategi dan dukungan yang tepat.