Penggerak “Elitis” Antara Ya dan Tidak

Menarik opini di harian ini tanggal 7 juni 2023 dengan judul “Penggerak Elitis” oleh Doni Koesoema A dan “Penggerak (tidak) Elitis” oleh Odemus Bei Witono tanggal 18 Juni 2023. Kedua opini membahas seputar penggerak bahwa mereka elitis dan tidak elitis. Maksud penggerak di kedua tulisan ini adalah guru dan kepala sekolah penggerak.

Program sekolah penggerak berfokus pada pengembangan hasil belajar secara holistik menyangkut kompetensi literasi dan numerasi serta karakter. Diawali dengan sumber daya manusia unggul yaitu kepala sekolah dan guru dengan harapan percepatan mutu pendidikan bisa lebih cepat dua kali lipat. Untuk itu maka diselenggarakan perekrutan online kepala sekolah dan guru yang memenuhi syarat untuk dilatih dan dibekali pengetahuan dan keterampilan menjadi kepala sekolah dan guru penggerak. Ribuan guru dan kepala sekolah telah berlabel penggerak. Status baru yang disandang menjadi pembahasan opini tersebut.

Status kepala sekolah atau guru penggerak menjadi tanggung jawab bagi yang menyandangnya. Sebab mereka dianggap lebih profesional dibandingkan yang belum penggerak. Sulit untuk menghindari pemisah antara keduanya. Bagi yang bukan penggerak tidak merasa dituntut untuk berbuat maksimal karena telah ada penggerak yang lebih ahli. Semua yang berurusan dengan pengembangan sekolah ditujukan kepada penggerak, Mereka dibebani segala hal yang berhubungan dengan kemajuan sekolah terlebih dahulu.

Mengamati para penggerak, akan muncul di benak kita tanggapan yang negatif, positif atau biasa-biasa saja. Pendapat yang ditulis oleh para pengamat bisa benar bisa tidak. Anggapan telah terjadi fragmentasi pada guru-guru kita bisa saja ada benarnya. Secara fisik kadang mereka tampak mencolok dengan kostum unik bertuliskan “guru penggerak”, “kepala sekolah penggerak”.

Penampakan fisik ini akan berpengaruh terhadap alam pikiran yang mengamatinya terutama kalangan pendidik. Bahwa mereka memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan guru atau kepala sekolah lainnya. Saat mereka berada di sekolah menjalankan rutinitas lebih sering perbedaan itu tidak begitu tampak. Karena ketika menjalankan tugas kelihatan hampir sama sebelum mereka penggerak. Fragmentasinya samar bahkan hampir tidak ada atau beda-beda tipis.

Sebagian guru atau kepala sekolah sesungguhnya memiliki kompetensi dan kualitas setara penggerak. Mereka mentransformasikan dirinya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dalam profesinya sebagai guru dan kepala sekolah. Ketika lolos seleksi, selanjutnya mengikuti proses pendidikan maka dengan mudah menyerap materi pelatihan seakan hanya sebagai penguatan sehingga layak disertifikasi sebagai penggerak. Lain halnya dengan guru dan kepala sekolah dengan kompetensi standar, lambat mengikuti perkembangan, gagap teknologi. Karena keberuntungan lolos seleksi, penggerak tipe inilah barangkali status penggerak menjadi ironis.

Baca juga : Kualitas Guru Tergantung Kondisi Zamannya

Pelaku transformasi, memahami kebutuhan siswa, proses belajar yang berpusat kepada anak, pembelajaran berdiferensiasi, calon kepala sekolah atau pengawas adalah kompetensi yang dianggap dimiliki oleh para penggerak. Akankah kebijakan ini berpotensi menimbulkan empati atau simpati dikalangan guru? Keduanya bisa terjadi, tetapi tidak signifikan, tidak akan terjadi jurang pemisah yang lebar, diistimewakan atau tidak diistimewakan, rasanya saat ini semuanya biasa-biasa saja. Para guru penggerak dan non penggerak menjalankan kewajiban sebagai guru beriringan tanpa perbedaan yang mencolok. Guru penggerak tidak juga merasa berkewajiban atau masih segan mengajar guru yang belum penggerak, karena saat ini banyak sumber belajar yang dapat dijadikan rujukan. Bahkan sebagian guru memiliki orientasi tersendiri dalam pengembangan diri.

Diantara guru atau kepala sekolah yang mengejar status penggerak, diantara mereka masih ada yang memiliki karakter tidak butuh label formal saat mengembangkan profesinya. Inilah barangkali kelompok yang dianggap guru yang berdedikasi yang penuh komitmen dan kesetiaan berjuang mentransformasi pendidikan dalam kesunyian tanpa pencitraan. Seorang teman guru yang berposisi sebagai wakil kepala sekolah dengan kompetensi diatas rata-rata tidak bersedia mengikuti pelatihan calon kepala sekolah bahkan calon guru penggerak. Sementara guru lainnya berlomba-lomba mengikuti seleksi guru penggerak. Diantaranya telah menjadi guru penggerak namun perubahan dalam melakukan aksi nyata belum terlihat signifikan. Dalam benak pikiran saya ketika mengikuti seleksi kepala sekolah penggerak, kelak ketika berstatus kepala sekolah penggerak maka akan mendapat penghargaan lebih dari rekan kepala sekolah lainnya, ditempatkan di sekolah yang baik dan besar serta mengelolah anggaran ratusan juta untuk pengembangan sekolah.

Kebijakan inilah yang tampaknya elitis karena mendapat perhatian lebih dari pemerintah tetapi hasil dari kebijakan ini tidak serta merta hasilnya elitis. Program yang dibebankan terhadap para penggerak tidak ada jaminan akan sukses, tergantung juga kondisi kesiapan pendukung. Seperti kualitas tenaga pendidik, sarana sekolah, peran serta masyarakat dan komitmen dari pemerintah setempat. Menjadi pemimpin pendidikan masa depan sebagai kepala sekolah atau pengawas tergantung dari kesungguhannya melakukan aksi nyata sebagai penggerak saat ini untuk meningkatkan keterampilannya sebagai bekal kelak ketika menduduki jabatan kepala sekolah atau pengawas. Status penggerak bukan jaminan bahwa saat ini mereka telah siap untuk menjadi pemimpin, tetapi butuh pengalaman kerja yang cukup.

Sekecil apapun hasilnya, ketika guru mengikuti program pelatihan. Misalnya pelatihan penggerak mereka akan lebih berdaya dan mendapat hal-hal baru dengan syarat sungguh-sungguh mengikutinya. Namun bukan berarti bahwa akan segera berdaya berdasarkan tujuan program misal dari guru biasa-biasa saja, setelah mengikuti program maka dia menjadi penggerak yang diharapkan. Yang pasti mereka telah mendapatkan legitimasi bahwa mereka lebih dari yang lainnya.
Kebijakan penggerak tidak mengabaikan guru lainnya. Layanan terhadap mereka tidak berkurang bahkan para penggerak nantinya wajib berbagi kepada yang belum penggerak. Tergantung bagaimana guru penggerak mampu berbagi pengalaman terhadap rekannya yang belum penggerak. Karena tidak tertutup kemungkinan yang belum penggerak lebih terampil dari penggerak. Seorang penggerak saat ini mungkin baru berkenalan dengan blogger, googlesite untuk publikasi, sementara ada guru biasa telah menjadi web developer.

Kebijakan inovatif Kemendikbud Ristek telah memberikan keadilan kepada semua pemangku kepentingan, terutama kepada semua guru dan sekolah. Mustahil pemerintah bisa menerapkan kebijakan penggerak secara menyeluruh ke guru dan sekolah. Sehingga dilaksanakan seleksi bertahap untuk menjaring guru atau kepala sekolah dengan kompetensi yang layak untuk menjadi penggerak dan terbuka bagi yang memenuhi syarat. Selanjutnya para penggerak ini akan mengimbaskan ilmunya kepada guru dan kepala sekolah lainnya. Ada harapan dengan program penggerak ini akan menggiring mutu pendidikan Indonesia maju lebih cepat. Seiring harapan ini rasa pesimis tetap akan mengiringi bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia akan tetap melaju lambat dibandingkan dengan negara Korea Selatan misalnya, karena kesiapan serta etos kerja sumber daya manusianya lebih siap dibandingkan negara kita yang awal kemerdekaan dianggap senasib dengannya.

Artikel/opini ini telah diterbitkan oleh kompas.id pada tanggal 23 Juli 2023 dengan judul Penggerak “Elitis” Antara Ya dan Tidak

Powered By EmbedPress

Recommended For You

About the Author: SudutEdukasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *