Muatan Pendidikan dalam Kurikulum Merdeka
Pemerintah meyakini Kurikulum Merdeka dapat mengurangi dampak ketertinggalan pembelajaran akibat pandemi. Ada yang menarik dari nilai-nilai dalam Kurikulum Merdeka yang serupa dengan model pendidikan Barat.
Merujuk pada paparan Mendikbudristek Nadiem Makarim, setidaknya ada tiga alasan mengapa pemerintah meluncurkan Kurikulum Merdeka.
Pertama adalah kemampuan siswa dalam memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar. Potret kemampuan tersebut tergambar dari skor Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) dalam 15 tahun terakhir yang tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Kompetensi membaca dan matematika sekitar 70 persen siswa usia 15 tahun masih berada di bawah kompetensi minimum. Tak hanya itu, kegiatan pembelajaran juga masih menghadapi kesenjangan kualitas antar-wilayah dan antar-kelompok sosial.
Keberadaan krisis kompetensi siswa tersebut diperparah oleh pandemi Covid-19. Hilangnya pembelajaran (learning loss) dan meningkatnya kesenjangan pembelajaran yang menjadi alasan kedua munculnya Kurikulum Merdeka ini. Faktor terakhir adalah keberhasilan penyederhanaan kurikulum dalam bentuk kurikulum dalam kondisi khusus (kurikulum darurat) yang sudah diterapkan dalam masa pandemi ini.
Survei yang dilakukan Kemdikbudristek kepada 18.370 siswa kelas I-III SD di 612 sekolah di 8 provinsi, menunjukkan adanya perbedaan hasil belajar yang signifikan antara penggunaan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Darurat pada masa pandemi. Temuan tersebut memberi gambaran penggunaan kurikulum yang lebih sederhana bisa meminimalkan terjadinya learning loss dan mempercepat pemulihan pembelajaran di masa pandemi.
Platform Kurikulum Merdeka
Berpijak dari efektivitas tersebut rancangan kurikulum yang lebih dinamis dan komprehensif disiapkan melalui platform Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar. Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami materi. Dalam konsepnya, guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.
Nilai-nilai dalam Kurikulum Prototipe (cikal bakal Kurikulum Merdeka) terinspirasi dari pemikiran John Dewey dalam artikelnya “My Pedagogic Creed”. Dewey adalah filsuf pendidikan khususnya pendidikan progresif dari Amerika Serikat. Ungkapan terkenalnya, “Aku percaya akan pendidikan itu adalah kehidupan dan bukannya persiapan untuk hidup”. Menurutnya, pendidikan harus bermanfaat dan kurikulum adalah kehidupan anak sehari-hari yang dapat dipilih secara mandiri
Pemikiran Dewey bahwa pendidikan itu adalah kehidupan anak itu sendiri. Proses pendidikan berbicara mengenai dua hal yaitu pengembangan anak dari sisi psikologi dan sisi sosiologi.
Sisi psikologi menggali kemampuan anak dari mental, pikiran, dan perilakunya. Sedangkan sosiologi, mengembangkan potensi anak dalam kehidupan sehari-hari serta pengaruhnya ilmu yang anak pelajari dalam bermasyarakat. Selama ini, banyak institusi pendidikan yang kurang menggali sisi sosiologinya.
Serupa dengan pemikiran Dewey, Kurikulum Merdeka berupaya mengadopsi hal tersebut untuk menyeimbangkan kedua sisi. Salah satu dari tiga struktur penerapan pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka adalah proyek penguatan profil pelajar Pancasila.
Model Pendidikan
Kegiatan proyek ini ditujukan untuk menggali isu nyata di lingkungan sekitar dan berkolaborasi untuk memecahkan masalah tersebut. Salah satu contoh proyek yang dapat dilakukan adalah proyek kewirausahaan. Tema ini mendorong siswa untuk mengeksplorasi potensi kerajinan lokal di wilayahnya. Sehingga kebermanfaatan ilmu dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Nilai yang sama juga hadir dalam konsep yang digaungkan oleh Maria Montessori. Dalam tulisannya, Montessori menegaskan tujuan pendidikan bukan menjejali seorang anak dengan fakta-fakta yang ada, tetapi memupuk keinginan mereka untuk belajar secara mandiri.
Model pendidikan ini berjalan dua arah antara guru dan murid. Anak-anak dibiarkan menjadi pengambil keputusan setiap berkegiatan sehingga dia mengetahui cara menyelesaikan masalah. Konsep ini berbeda dengan model pendidikan tradisional, biasanya guru mengajar dalam kelas dan menentukan apa yang akan dipelajari pada hari tersebut. Tetapi, model pengajaran tersebut menyamaratakan kemampuan anak, bahwa semua anak siap menerima materi yang sama.
Dalam skema Montessori, materi pembelajaran disusun dari yang paling mudah sampai paling sulit. Setiap anak menggunakan material sesuai dengan kecepatan mereka sendiri. Dan memilih sesuai ketertarikan mereka.
Capaian Pembelajaran
Hal yang sama juga diadopsi dalam Kurikulum Merdeka. Capaian Pembelajaran (CP) disusun per fase. Dalam Buku Saku Tanya Jawab Kurikulum Merdeka dijelaskan bahwa hal ini merupakan upaya penyederhanaan sehingga peserta didik memiliki cukup waktu untuk menguasai kompetensi.
Capaian Pembelajaran per fase ini memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar sesuai tingkat pencapaiannya (teaching at the right level), kecepatan dan kesesuaian gaya belajar mereka. Serupa dengan yang diajarkan dalam pendidikan Montessori, Kurikulum Merdeka membebaskan anak untuk belajar sesuai fase tahapannya.
Kedua model pendidikan Barat tersebut kurang lebih menjadi inspirasi untuk menyamai kualitas pendidikan kita dengan negara lain. Dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, sebagian besar yang menduduki peringkat 20 teratas adalah negara-negara Eropa.
PISA adalah sistem ujian yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 79 negara di dunia berdasarkan tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika, dan sains. Indonesia masih berada di barisan 10 besar papan bawah.
Rendahnya urutan peringkat dalam PISA menjadi evaluasi atas kualitas pendidikan Indonesia. Impelentasi Kurikulum Merdeka menjadi momentum penting meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Tujuan pemulihan pembelajaran (learning recovery) dan implementasi di ruang-ruang pendidikan menjadi faktor penting keberhasilan penerapan kurikulum ini.
Penerapan kurikulum baru ini jangan fokus pada perbedaan namanya, tetapi pada inti kebijakan itu dan implementasinya di lapangan. Salah satu keunggulan kurikulum ini tidak ada peminatan bagi siswa jenjang SMA. Sehingga siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minat dan aspirasinya. Kurikulum ini juga diyakini lebih sederhana, relevan, dan interaktif.
Pilihan Kurikulum
Menyambut tahun ajaran mendatang 2022/2023, pemerintah membebaskan pihak sekolah untuk memilih kurikulumnya. Tiga pilihan kurikulum tersebut adalah Kurikulum 13, Kurikulum Darurat, atau Kurikulum Merdeka. Kebebasan memilih tersebut juga masih sejalan dengan pemikiran John Dewey dan Maria Montessori dalam mengajar murid sesuai tahapan dan kemampuannya.
Ketidaksiapan tenaga pengajar menjadi salah satu kekhawatiran yang perlu diperhitungkan risikonya dalam membebaskan pilihan kurikulum. Di atas kertas, memang rancangan mengenai Kurikulum Merdeka ini ditujukan untuk menjawab kekhawatiran murid dan orang tua atas beban belajar murid yang berat selama ini.
Selain itu, kurikulum ini juga lebih banyak mengeksplorasi kemampuan siswa dan tenaga pendidik untuk memilih pelajaran dan metode pembelajarannya. Namun perlu di ingat, kompetensi guru di Indonesia belum merata. Selain itu ada sekolah yang sudah ikut program sekolah penggerak, tetapi banyak juga yang belum.
Bimbingan secara bertahap untuk menerapkan Kurikulum Merdeka perlu terus dilakukan. Tidak ada salahnya mengacu keberhasilan model pendidikan negara-negara Barat, tetapi tetap dibutuhkan pendampingan dan penyesuaian dengan kondisi pendidikan di Indonesia.
Sumber : kompas.id