Cahaya di Balik Kata (cerpen)

Oleh. Andi Citra Naqiyyah Salsabilla Siswa UPTD SMPN 3 Sinjai Kelas VII (Peraih Juara II Lomba Menulis Cerpen Dalam Rangka Bulan Bahasa Tahun 2024 yang di selenggarakan MGMP Bahasa Indonesia Kab. Sinjai )

Di sebuah desa kecil bernama Tirta Sari, hiduplah seorang gadis bernama Maya. Usianya masih 15 tahun, namun ia sudah merasakan kejenuhan dengan dunia digital. Ponsel pintar dan game online seakan menjadi satu-satunya teman yang ia kenal. Maya jarang sekali menyentuh buku, apalagi membaca novel atau puisi. Bulan bahasapun tiba. Sekolah maya mengadakan berbagai lomba dan gegiatan literasi. Awalnya, Maya merasa malas dan enggan ikut serta. Namun, berkat bujukan sahabatnya, Rani, membuatnya mau mengikuti lomba menulis cerpen.

“Hey Maya! Apakah kamu tidak mau ikut serta dalam kegiatan yang diadakan di sekolah? Aku mendengar ada lomba menulis cerpen. Ku rasa kamu bisa mengikuti lomba itu.” ucap Rani sedikit membujuk.

“Udah deh! Gue gak mau ikut lomba apapun! Malas! Mending main game online. Ucap Maya tanpa mengalihkan sorot matanya dari ponsel pintar itu.

“Ayolah! Sekali-kali kamu mengikuti lomba di sekolah! Keseringan bermain ponsel juga tidak baik.” Ucap Rani dengan sedikit memaksa.

“Bukan urusan lo! Lagian kenapa harus gue sih?! kenapa gak lo aja?! Gue gak mau ya, pergi sana! Bentak Maya sangat kesal karena Rani terus berbicara sehingga ia gagal memenangkan game online nya.

“Aku sudah mendaftar di salah satu lomba, yang lain juga sudah terdaftar di berbagai lomba. Hanya kamu yang belum mengikuti lomba apapun. “Ucap Rani ikut kesal.

“Iya iya! Gue bakalan ikut lomba itu! Sekarang mending lo pergi! Ganggu orang aja!” Usir Maya.

Keesokan harinya, Rani datang lagi ke rumah Maya. Saat memasuki rumah Maya, Rani langsung mendapati Maya yang sedang sibuk dengan game online nya.

“Hey Maya! Kenapa tak belajar juga! Simpan ponselmu! Aku sudah membawakanmu buku untuk kau pelajarai” Ucap Rani.

“Ah, tunggu! Bentar lagi nih!” Balas Maya tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari ponselnya.

Rani yang sudah sangat kesal merampas ponsel Maya lalu menggantikannya dengan buku yang ia bawa. Maya mendengus kesal lalu membuka halaman buku itu dengan kasar. Rani, si gadis ceria yang gemar membaca, dengan sabar membimbing Maya. Rani mengajak Maya ke perpustakaan desa, meminjam buku-buku bacaan yang menarik, dan membantu Maya mencari ide untuk menulis.

Namun ternyata Maya tidak belajar dengan bersungguh-sungguh. Maya hanya membuka buku dan menatap kata yang tersusun menjadi cerita. Ia tidak meresapi dan memahami cerita yang ia tatap. Bahkan membacanyapun Maya sangat enggan. Maya hanya membaca setengah lember dari halaman cerita itu. Itupun tidak ia pahami.

Melihat Maya yang sepertinya tidak bersungguh-sungguh membaca buku, Rani menghela napas panjangnya.

“Kamu sudah selesai membacanya ?” Tanya Rani.

“Udah, sekarang balikin ponsel gue!” Ucap Maya malas.

“Sebelum aku memberikan ponselmu kembali, jelaskan kesimpulan dan pesan moral cerita yang telah kamu baca terlebih dahulu ” Ucap Rani.

“Ah, lo mah rempong bangat! Gue kan udah baca ceritanya! Mana jelek banget lagi, sini ponsel gue!” Ucap Maya menatap Rani dengan kesal.

“Jika kamu sudah membaca ceritanya, belum tentu kamu memahami apa maksud dari cerita yang kamu baca. Aku tidak akan mengembalikan ponselmu sebelum kamu menjelaskan apa kesimpulan beserta pesan moral dari cerita yang sudah kamu baca!” Ucap Rani tegas.

Maya memutar bola matanya malas lalu mendelik. Ia melempar buku itu lalu bersedekap dada. Rani yang melihatnya hanya bisa menghela napas dan mencoba untuk tetap sabar dalam membimbing Maya.

Sore berganti malam, malam berganti pagi. Hal itu terus berulang dan sampailah pada hari pelaksanaan dimana Maya akan berlomba menulis cerpen. Maya menatap malas kerta dan pulpen di hadapannya. Saat lomba berlangsung, Maya berpikir keras, apa yang akan ia tulis di kertas kosong yang terletak di mejanya. Waktu terus berjalan hingga akhirnya waktu menulis cerpen pun habis, dan Maya belum menulis satu katapun di kertasnya. Mau tidak mau, Maya berjalan ke meja penilai untuk mengumpul kertas koson itu.

“Bagaimana lombanya? Apakah kamu kesulitan dalam menulis cerpen? Kamu pasti bisa mengerjakannya dengan lancarkan?!” Tanya Rani antusias dengan lengkungan senyum manis di wajahnya.

Tapi maya hanya memutar bola matanya lalu melewati Rani begitu saja tanpa menggubris pertanyaan dari Rani. Lonceng berbunyi pertanda jam pulang telah tiba, Maya berjalan menuju gerbang dengan malas. Tiba-tiba, wali kelasnya muncul dihadapannya dengan tatapan tidak senang.

“Heh kamu! Kamu itu ya! Membuat saya mau saja! Lain kali kalau tidak niat ikut ya tidak usah ikut! Kamu membuat saya malu dan ditertawakan para guru karena kamu mengumpul kertas kosong!” Bentaknya kepada Maya.

Semua pasang mata langsung tertuju pada Maya yang tertunduk. Malu, itu yang Maya rasakan. Bisikan mulai terdengan saat Maya melewati murid yang menunggu jemputan. Saat Maya ingin meneteskan air mata karena dipermalukan, Rani datang merangkul pundak Maya dan memberikan usapan lembut dipunggung Maya. Maya menyesal karena tidak bersungguh-sungguh dalam belajar.

“Tidak apa-apa, kegagalan bukanlah akhir dari perjalanan melainkan awal dari perjuangan yang sesungguhnya. Ayo berusaha lagi! Tunjukkan pada mereka kalau kamu bisa!” Ucap Rani menyemangati Maya yang putus asa.

Mulai hari itu, Maya meminta kepada Rani untuk membimbingnya lagi. Maya belajar dengan bersungguh-sungguh, Rani tersenyum melihat kesungguhan Maya dalam belajar.

Dua hari kemudian, lomba menulis cerpen diadakan lagi. Dengan penuh semangat dan percaya diri, Maya mendaftarkan diri walaupun dianggap remeh oleh orang-orang disekitarnya. Dengan dukungan dari Rani, Maya semakin percaya diri untuk mengikuti lomba tersebut. Maya semakin giat untuk belajar. Hari demi hari berlalu, Maya semakin hangat dalam dunia buku. Ia menemukan bahwa dibalik setiap kata yang tertulis, tersimpan kisah-kisah yang indah dan inspiratif. Namun, Maya masih sering kesulitan untuk menuangkan ide-idenya kedalam tulisan. Ia merasa kata-katanya terbatas dan tidak mampu mengekspresikan apa yang ada di pikirannya. Rani terus menyemangatinya.

“Setiap orang punya cerita unit, Maya. Yang penting adalah berani untuk memulai” Kata Rani.

Dengan penuh semangat, Maya menulis. Ia menceritakan tentang kehidupan sehari-harinya di desa, tentang mimpi-mimpi yang ingin dia raih, dan tentang persahabatannya dengan Rani. Setiap hari, ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menulis.

Dan Maya pun berhasil melalui kegiatan lomba itu. Hari pengumuman pemenang lomba pun tiba. Dengan jantung yang berdetak kencang, Maya menunggu pengumuman pemenang. Dan ternyata! cerpen yang ia tulis berhasil meraih juara pertama! Maya merasa bangga dan sangat senang atas pencapaiannya. Sejak saat itu, kehidupan maya berubah. Ia menjadi lebih rajin membaca dan menulis. Ia juga aktif mengikuti berbagi kegiatan literasi di sekolahnya. Tak lupa ia berterimakasih kepada Rani karena sudah membimbing dirinya sampai mendapatkan juiara.

Maya menyadari bahwa membaca dan menulis tidak hanya membuatnya lebih pintar, tetapi juga membantunya untuk lebih mengenal dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya. Maya juga mengajak teman-temannya untuk gemar membaca. Ia membuat klub baca buku di sekolahnya dan sering mengadakan diskusi buku. Berkat usahanya, semakin banyak siswa yang tertarik untuk membaca dan menulis.

Melalui cerita Maya, kita dapat belajar bahwa literasi memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan kita. Dengan membaca, kita dapat memperoleh pengetahuan baru, memperluas wawasan, dan mengembangkan imajinasi. Sedangkan dengan menulis, kita dapat mengekspresikan diri, mengembangkan kreativitas, dan membangun relasi dengan orang lain.

Baca juga : Kesadaran Fonologis Bagi Siswa

Recommended For You

About the Author: SudutEdukasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *