
Karya: A.Citra Naqiyyah Salsabilla (Siswi Kelas VII UPTD SMPN 3 Sinjai)
Benarkah sungai bermuara di laut dan pantai? Yang garisnya seperti lapis Lazuli di Teluk Bone, adalah Kabupaten Sinjai yang berarak di arah Timur Provinsi Sulawesi Selatan.
Di balik tabir keindahan alam yang memukau, seorang pria tampan dan kaya raya menjalani hidupnya seperti patung pualam yang indah namun kosong di dalamnya. Bermain drama tak berujung, dengan akting yang sempurna namun tanpa makna.
Semua orang pasti tahu bahwa setiap nama yang diberikan oleh orang tua memiliki arti tersendiri yang terselip di antara lembutnya ribuan bisikan doa di tengah hiruk-pikuk malam hari.
Begitu juga dengan Yudi Arkana yang tentunya memiliki arti. Yudi artinya pahlawan, sementara Arkana artinya suci dan berhati terang.
Namun masa muda sosok Yudi Arkana yang seharusnya penuh dengan impian dan harapan, justru dihabiskan untuk berkelahi, bolos, dan membuat orang tuanya khawatir. Bahkan ia tak segan membentak orang tuanya ketika tidak diberi kebebasan.
“Kau harus berubah, anakku. Kamu tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini.” Ia menggeleng, merasa tidak dipahami.
Pertentangan antara mereka semakin memanas. Tak ada sosok ayah yang menengahi, sebab ayah dari Yudi sudah berpulang sejak ia berusia 3 tahun.
Mata sang ibu berkaca-kaca, memandang buah hati dengan penuh harapan. Goresan luka di netranya pun tak lagi samar-samar untuk bersuara. Jemari wanita paruh baya itu bergetar dalam genggaman. Ia tersenyum lembut, “Berubah ya, ‘nak?” katanya, membelai lembut surai hitam anaknya. Namun respon yang didapatkannya membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Yudi menggeleng kuat lalu menghempaskan tangan ibunya dengan kasar. Ia berdiri dari duduknya, “Aku ingin menjadi diriku sendiri, tanpa harus memenuhi harapan orang lain. Tak terkecuali ibu!” bentaknya lalu pergi meninggalkan sang ibu yang menangis tersedu.
“Hati-hati dimanapun kamu berada ‘nak. Doa ibu menyertaimu, semoga kamu mendapatkan hidayah di setiap langkahmu. Pintu rumah selalu terbuka lebar menunggu kepulanganmu.” lirih ibu meluruhkan dirinya di lantai yang terasa dingin.
Pasokan udara di rumah itu terasa menghilang begitu saja bersamaan dengan langkah kaki Yudi yang kian menjauh dan hilang dari pandangan.
Sedangkan di belahan bumi lain, Yudi melangkahkan kakinya yang tertuju pada kediaman seseorang yang ia sebut sahabat. Namun sesampainya ia di sana, ia hanya mendapatkan penolakan dari orang tua sahabatnya.
“Mau apa kamu kesini?! Pergi sana, gara-gara kamu anak saya terjerumus dalam kenakalan remaja!” hardik orang tua sahabatnya kala itu masih terngiang jelas dalam ingatannya.
Di jalan yang gelap dan sepi, Yudi berjalan dengan kepala tertunduk. Ia melakukan kesalahan lagi, dan sekarang ia harus menghadapi konsekuensinya. Ia tahu bahwa ia harus berubah, namun ia tidak tahu bagaimana cara untuk melakukannya. Ia terjebak dalam lingkaran kebiasaan buruk dan sulit untuk keluar dari sana.
Matahari perlahan terbenam di balik cakrawala. Ia menemukan dirinya pada pantulan genangan air, menatap wajahnya yang serupa dengan ibunya. Tujuannya saat ini adalah pantai, ia akan kesana untuk menenangkan dirinya.
Langit mulai berganti warna menjadi gelap dengan bintang-bintang yang menghiasinya. Ia tidur terlentang di hamparan pasir pantai, menatap gemerlap bintang di atas sana. Ia bertanya pada dirinya, “Apa arti hidup sebenarnya?” Ia memiliki segalanya, ia kaya, ia tampan, namun tidak memiliki tujuan. Ia merasa bahwa hidupnya adalah sebuah teater yang kosong. Tanpa naskah, tanpa aktor, dan tanpa penonton.
Perlahan tapi pasti, ia memejamkan matanya yang terasa berat. Ia hanya berharap, saat ia bangun nanti ia akan merasakan kebahagiaan yang tak lagi tertunda.
Yudi kembali membuka matanya lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Alisnya menyatu ketika mendapati ruangan yang terasa tidak familiar, juga baju yang dikenakannya sedikit lusuh.
Yudi beranjak dari kasur kapuk yang ia tiduri dan berjalan menuju cermin kecil yang menempel pada lemari. Ketika cermin memantulkan bayangannya, Yudi seperti disambar petir kala melihat wajah orang lain dalam cermin tersebut. Matanya tak lagi berbinar, kulitnya kehilangan kilau, dan yang paling membuat Yudi panik adalah hidung mancung yang sering ia bangga-banggakan kini terlihat penyek.
Ia meraba-raba wajahnya yang berubah, mengucek matanya, lalu menampar-nampar pipinya. Ia berharap itu semua hanyalah sebuah mimpi.
Namun itu semua nyata adanya. Ia berteriak histeris, “TIDAAAKKKKK!”
Setelah teriakannya menggema di setiap sudut ruangan, terdengarlah suara langkah kaki yang tergesa-gesa.
Brak!
Pintu terbuka dengan kasar, menampilkan sosok wanita paruh baya dengan sudip ditangannya.
“Astaghfirullahaladzim, UDIN! Kenapa ko teriak-teriak, sampai pecah telurku yang mau ku goreng kan ko. Ngappai, pilla’mako?! Anu satu-satu juga ji lagi! (Astaghfirullahaladzim, UDIN! Kenapa kamu berteriak, telur yang akan ku goreng kan untukmu sampai pecah. Rasakan, kamu tidak dapat apa-apa kan?! Mana cuma sebiji lagi!)” Teriakan wanita itu terdengar begitu nyaring sampai ke negeri seberang. Sedangkan yang diteriakinya menatap dirinya cengo.
“Kamu siapa? Udin siapa?” tanya Yudi penuh kebingungan.
“OMMALE! Kau mi itu di bilang Udin, saya ando’ nu ROSI! (OH IBU! Kamulah yang disebut Udin, aku ibumu ROSI!)” omelnya. “Pergi mako cepat mandi baru makan. Adaji itu gangang raung lame! (Cepatlah mandi lalu makan. Ada sayur daun singkong!)” Wanita yang diketahui bernama Rosi dan notabenenya adalah ibu dari Udin menyeretnya menuju kamar mandi.
“Kalau sudah mako mandi, sudah makan, pergi ko di sawah cari siso untuk dimakan kalau malam nah! (Setelah selesai mandi, selesai makan, kamu pergi ke sawah mencari tutut untuk makan malam ya!)” titah Rosi.
Yudi yang masih linglung hanya mengangguk-angguk menuruti ucapan orang asing itu, meskipun ia tidak tahu apa yang dikatakannya.
Di dalam kamar mandi, Yudi masih terheran-heran dengan apa yang terjadi. “Dia siapa? Cara bicaranya aneh, bajunya juga aneh!” gumamnya menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
“UDIN, CEPAT-CEPAT SAI KO! ITU HE MENUNGGU MI BAPAK NU! (UDIN, CEPATLAH! BAPAKMU SUDAH MENUNGGU!)” Teriakan itu kembali terdengar, memecahkan keheranan Yudi.
“IYA!” teriak balik Yudi.
“BAHASA NU UDIN! GAYA NU, IYA IYA! (BAHASAMU UDIN! LEBAY BANGET!)” protes Rosi.
Tak membutuhkan waktu yang lama, Yudi pun keluar dari kamar mandi. Ia celingak-celinguk menatap sekelilingnya yang terasa sangat jauh berbeda dengan rumahnya yang diselimuti emas, sedangkan sekelilingnya saat ini hampir semua berbahan dasar kayu.
Ia berjalan menuju kamar dan membuka lemari pakaian. Setelah memakai pakaian, ia hendak keluar namun niatnya ia urungkan saat pandangannya tak sengaja menangkap kalender kecil yang terletak di atas meja. Ia mengambil kalender itu dan menelitinya.
Matanya seketika membola, “1971?! Bahkan aku yang asli belum lahir!” ucapnya merasa syok.
“Kampoeng Bugis? Ini dimana? Aku siapa?” monolognya lalu meletakkan kembali kalender kecil itu.
Ia berjalan menuju dapur dan memperhatikan makanan yang tersaji di atas meja. Makanan itu tampak tidak menggugah. Namun ia harus makan meski hanya sedikit, karena perutnya sudah keroncongan. Ia mengambil sedikit nasi dan makanan yang tadi disebut gangang raung lame (sayur daun singkong) lalu memasukannya ke dalam mulut. Rasanya tak seperti yang biasa ia makan, namun ia tidak bisa memilih.
Setelah selesai makan, para lelaki penduduk kampung secara bersama-sama menuju sawah untuk mencari siso (tutut) sebagai bahan makanan di malam hari. Yudi hanya mengikuti, namun bukan sekali dua kali ia mendapatkan teguran karena hanya diam mematung, juga ekspresi wajahnya yang terlihat enggan menyentuh lumpur di sawah itu. Padahal orang-orang tahu betul sosok Udin yang sangat rajin dan suka membantu pekerjaan orang-orang di sawah.
“Ayo mi he Udin, jangan ko malas! Apa mi mau nu makan kalau tidak dapat ko siso! (Ayolah Udin, jangan malas! Apa yang akan kamu makan jika tidak ada tutut!)” tegur Sale, ayah dari Udin.
Yudi hanya mengangguk pasrah, ia mulai mencari sesuatu yang disebut siso (tutut). Ia merasa tidak nyaman dengan lumpur yang terasa licin dan dingin, namun ia tidak bisa mengeluh. Ia harus melakukan apa yang sudah menjadi kebiasaan Udin.
“Banyak mi pasti nu dapat siso toh, Udin? Kayak biasa! Saya baru seperempat ember, kau tiga ember mi penuh! (Pasti kamu sudah mendapatkan banyak tutut kan, Udin? Seperti biasa! Aku baru dapat seperempat ember, kamu sudah dapat tiga ember penuh!)” tebak pria tua di belakangnya. Yudi menoleh dan tersenyum kikuk.
“Ih, apa itu nu ambil Udin! Kenapa na bokkeng! (Ih, apa yang kamu ambil itu Udin! Kenapa malah mengambil keong sawah!)” protes Sale.
“Kenapa kalaeng-laeng ko ini hari Udin? Tidak banyak bicara ko juga! Tidak sakit jako? (Kenapa kamu terlihat aneh hari ini Udin? Kamu juga tidak banyak bicara! Kamu tidak sakit kan?)” tanya salah satu penduduk kampung.
“Ahaha, tidak apa-apa!” ucap Yudi meyakinkan.
Mereka pun kembali melanjutkan aktivitasnya. Sesekali mereka dibuat heran dengan sikap aneh yang ditunjukkan oleh Yudi.
Hari demi hari Yudi lalui menggunakan tubuh Udin. Meskipun rasanya sulit untuk beradaptasi, Yudi tetap berusaha menjalani kehidupan barunya sebagai Udin. Ia mulai
menggali bagaimana kebiasaan Udin, apa yang biasa Udin lakukan, dan bagaimana Udin berinteraksi dengan orang lain.
Udin merupakan anak yang sangat baik dan rajin. Di pagi hari, Udin berangkat ke sekolah dengan buku hasil jahitan ibunya dari kertas yang sudah tidak digunakan dan dibuang oleh tetangganya. Meskipun begitu, Udin mendapatkan gelar siswa teladan dan memiliki nilai tertinggi di sekolahnya. Sepulang sekolah, Udin yang tak kenal lelah sering menawarkan diri untuk membantu orang tua dan para penduduk kampung tanpa mengharapkan imbalan. Sebelum malam tiba, Udin memiliki rutinitas mengaji bersama anak-anak kampung.
Lambat laun waktu berlalu, Yudi mulai terbawa arus dan terbiasa dengan segala sesuatu yang terjadi di kehidupan Udin. Keluarganya yang hangat meskipun sederhana.
Tepat satu minggu ia berada di kehidupan Udin. Ia merasa nyaman, namun jutaan rindu tak bisa ia tepiskan. Ia berharap dan berdoa kepada Tuhan agar ia kembali pada hidup aslinya, Yudi berjanji akan menjadi lebih baik. Ia bersungguh-sungguh tak akan menyia-nyiakan kesempatannya untuk hidup dengan baik bersama ibunya.
Dan benar saja. Keesokan harinya saat matanya yang semula terpejam terbuka kembali, ia sudah berada pada kehidupannya yang asli. Ia langsung mencari cermin dan melihat wajahnya. Ia merasa lega dan bahagia, lalu berteriak dengan riang gembira.
“Anakku, kamu sudah kembali ‘nak. Ibu sangat khawatir denganmu!” ucap ibunya lalu memeluk Yudi.
“Ibu, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya mengingat saat aku tertidur di pantai setelah perdebatan kita.” kata Yudi dalam pelukan.
Ibu tidak menjawab, ia hanya memeluk Yudi dengan lebih erat. Yudi merasa bahwa ibunya sangat menyayanginya dan ingin ia menjadi lebih baik.
Pandangannya tak sengaja menangkap foto keluarga saat ia masih kecil. Ia merasa tidak asing dengan sosok pria yang menggendongnya. Ia mengambil foto itu.
“Ibu, nama ayah… Wahyudin, kan?” tanya Yudi, ibunya mengangguk. Yudi tersenyum, ternyata selama satu minggu itu dia menempati tubuh mendiang ayahnya di masa lalu.
Dari hari itu, Yudi menjadi lebih baik dan lebih menghargai kehidupannya. Ia berjanji, tidak akan melupakan pengalaman berharga yang ia alami.
Baca juga: Cahaya di Balik Kata (cerpen)
Artikel ini pas banget buat dibaca sambil diskusi bareng komunitas. Yuk gabung ke Kanal.id, seru banget!
terima kasih atas tanggapan dan sarangnya