Fenomena global menunjukkan, anak laki-laki berisiko lebih besar lepas dari pendidikan dibandingkan anak perempuan. Banyak anak laki-laki yang tidak mencapai hasil belajar yang baik, mengulang kelas, hingga putus sekolah di jenjang pendidikan dasar. Dan semakin besar di pendidikan menengah serta tinggi.
Laporan UNESCO
Laporan UNESCO bertajuk Leave No Child Behind : Global Report On Boys’Disengagement From Education menunjukkan realitas. Bahwa pendidikan berkualitas yang inklusif yang seharusnya sama-sama dinikmati perempuan maupun laki-laki. Ini sebagai komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs pada 2030 yang masih jauh dari capaian.
Laporan global pertama tentang kondisi tertinggalnya anak laki-laki dari sistem pendidikan ini didapat dari 140 lebih negara. Hasilnya, anak laki-laki menghadapi tantangan terbesar mengulang kelas, putus sekolah, dan memiliki nilai akademi yang rendah. Sebanyak 132 juta anak laki-laki usia sekolah jenjang SD dan SMA sederajat tidak bersekolah di tahun 2020.
Jumlah anak laki-laki yang mengulang kelas maupun putus sekolah yang lebih tinggi dari perempuan juga terjadi di Indonesia. Dari data statistik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun ajaran 2020/2021. Meskipun jumlah siswa laki-laki lebih banyak, tapi komposisinya bisa diimbangi jumlah siswa perempuan, baik di jenjang SD, SMP, maupun SMA/SMK.
Jika dilihat dari jumlah siswa yang mengulang maupun putus sekolah di tahun ajaran 2020/2021, jumlah siswa laki-laki lebih banyak. Di SD misalnya siswa laki-laki yang mengulang sebanyak 3.449 orang, perempuan sebanyak 2.310 orang. Demikian pula angka putus sekolah di SD, siswa laki-laki mencapai 8.191 orang, sedangkan perempuan 6.239 orang.
SMP dan SMA
Hal yang sama terjadi di jenjang SMP dan SMA/SMK, siswa mengulang maupun putus sekolah tetap dinominasi anak laki-laki. Meskipun lebih dominan laki-laki, namun siswa perempuan juga tinggi, terutama tingkat putus sekolah.
Untuk jenjang pendidikan tinggi, data yang diakses dari laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi pada Senin (9/5/2022), memperlihatkan kini lebih banyak mahasiswa perempuan yakni sekitar 3,25 juta orang. Adapun mahasiswa laki-laki sekitar 3,099 juta orang.
Secara global, hanya 88 pria yang terdaftar di pendidikan tinggi untuk setiap 100 perempuan. Di 73 negara, lebih sedikit anak laki-laki daripada anak perempuan yang terdaftar di pendidikan menengah atas, sedangkan kasus sebaliknya di 48 negara. Data UNESCO ini menyoroti fenomena global pekerja anak dan kemiskinan, di antara faktor-faktor lain, mencegah anak laki-laki terlibat sepenuhnya dengan pembelajaran dan berkontribusi pada pengulangan dan putus sekolah.
Di beberapa negara, tanda-tanda bahwa anak laki-laki tertinggal dalam pendidikan sudah muncul di akhir tingkat pertama. Di 57 negara dengan data, anak laki-laki berusia 10 tahun berkinerja lebih buruk daripada anak perempuan dalam penguasaan keterampilan membaca dan remaja laki-laki terus tertinggal dari anak perempuan dalam keterampilan membaca di tingkat menengah. Tren ini terlihat di Asia Timur dan Pasifik, Amerika Latin dan Karibia, dan negara-negara Arab, yang menunjukkan beberapa risiko tertinggi anak laki-laki putus sekolah.
Laporan UNESCO juga mengungkapkan bahwa hanya sedikit program dan inisiatif yang membahas fenomena pelepasan anak laki-laki dari pendidikan. Ini memberikan serangkaian rekomendasi konkret untuk mencegah putus sekolah anak laki-laki, membuat pembelajaran yang aman dan inklusif, berinvestasi dalam data dan bukti yang lebih baik, membangun dan membiayai sistem pendidikan yang adil, dan mempromosikan pendekatan terpadu dan terkoordinasi untuk meningkatkan pendidikan bagi semua peserta didik.
Deklarasi
Deklarasi hak asasi manusia menjamin setiap orang berhak atas pendidikan. Memang di banyak negara perempuan masih lebih sedikit bersekolah, tetapi ada masalah juga pada anak laki-laki di sekolah yang berisiko lebih tinggi gagal untuk menyelesaikan dan melanjutkan pendidikan dibandingkan perempuan.
Mendukung anak laki-laki bukan berarti mengesampingkan perempuan atau sebaliknya. Perlunya menaruh perhatian pada masalah global bahwa anak laki-laki berisiko lebih besar lepas dari pendidikan, tidak hanya bermanfaat agar anak laki-laki mendapat pendidikan berkualitas, kesempatan kerja, pendapatan dan kesejahteraan (well being), namun juga tinggi manfaatnya untuk mencapai kesetaraan jender dan hasil ekonomi, sosial, dan kesehatan yang diinginkan.
Memenuhi janji pendidikan berkualitas bukan hanya untuk menguntungkan laki-laki. Tapi sebagai umat manusia, pendidikan berkualitas harus diakses secara inklusif dan setara. Sebab, tiap orang, anak laki-laki dan perempuan, punya hak dan kesempatan sama untuk meraih masa depan lebih baik lewat pendidikan. Agenda SDGs 2030 menjanjikan tidak seorang pun tertinggal. Pencapaian pendidikan berkualitas juga sejalan dengan upaya meraih kesetaraan jender.
Kemiskinan dan pekerja anak disebutkan sebagai hambatan pendidikan anak laki-laki menuntaskan pendidikan. Dari 160 juta anak yang terlibat dalam aktivitas tenaga kerja pada tahun 2020, sebanyak 97 juta adalah anak laki-laki.
Memang anak laki-laki lebih punya akses untuk masuk ke pendidikan, salah satunya karena sistem sosial dan budaya yang mengutamakan laki-laki. Namun, ada beban juga laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Di keluarga miskin, akhirnya anak laki-laki pun terpaksa putus sekolah karena harus bekerja membantu keluarga, jadi butuh bangunan dan pekerjaan serabutan lainnya.
Potensi Masalah
Selain itu, anak laki-laki juga yang menghadapi masalah dalam keluarga, misalnya, rentan terlibat tawuran dan tindakan kriminalitas, serta narkoba, sehingga berdampak pada pendidikan hingga putus sekolah. Pemerintah harus bisa melihat masalah ini dan mengembangkan layanan pendidikan yang juga mengakomodasi anak-anak yang menghadapi masalah. Akses untuk pendidikan kecakapan hidup harus bisa tersedia agar mereka yang terpaksa putus sekolah punya bekal keterampilan untuk bekerja.
Masalah pendidikan pada anak laki-laki ini bisa diantisipasi sejak dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan dasar. Di PAUD, misalnya, fenomena guru yang didominasi perempuan, menyebabkan anak-anak laki-laki secara tidak sengaja sudah tertinggal.
Anak laki-laki untuk perkembangannya lebih butuh kematangan fisik dulu dengan aktif bergerak. Adapun anak perempuan memang lebih cepat matang menyerap literasi. Nah, dengan dominasi guru perempuan yang belum sepenuhnya paham tentang perbedaan tumbuh kembang sesuai jender ini, cenderungnya anak laki-laki jadi tertinggal.
Penting untuk menghadirkan role model yang seimbang dalam pendidikan antara laki-laki dan perempuan agar anak-anak perempuan dan laki-laki juga tumbuh seimbang. Sayangnya, isu tentang jender masih sering berat tentang feminisme/perempuan. Padahal, anak laki-laki juga butuh pemahaman dan persiapan tentang maskulinitas.
Dengan memastikan anak laki-laki juga mendapat pendidikan berkualitas, isu tentang kesetaraan jender yang menghargai perempuan dan emansipasi perempuan bisa semakin kuat karena mendapatkan dukungan dari laki-laki yang terdidik baik.