
Karya: A. Citra Naqiyyah Salsabilla
*Terinspirasi dari lagu Gugur Bunga, karya Ismail Marzuki.
Di antara tembok sunyi,
terdengar desir angin pagi,
membawa nama-nama yang gugur
tanpa tanda tanya,
hanya jejak darah
dan harapan yang tak sempat mereka sampaikan.
Langit pun menunduk kala kau pergi,
pahlawan,
dengan peluru di dada
dan merdeka di jiwa.
Kami tak sempat bilang terima kasih,
tapi tanah ini
masih berdiri karena nyawamu yang abadi.
Dan jika esok kami kembali menjerit, rapuh, terjerat simpul luka,
biarlah suaramu menggema dalam lagu yang tak pernah mati.
Gugur bunga, di taman bakti.
Gugur jiwa, untuk hidup kami.
Gugur harap, agar bangsa ini tetap berdiri.
Penulis: Siswa kelas VIII UPTD SMPN 3 Sinjai
Catatan Penulis:
Puisi ini lahir dari perenungan tentang makna pengorbanan dan bagaimana sejarah kadang hanya ditinggalkan dalam bentuk nama-nama di tugu peringatan, bukan dalam hati. Saat mendengarkan kembali lagu legendaris Gugur Bunga karya Ismail Marzuki, saya tersentuh oleh kesederhanaannya yang justru menyimpan luka mendalam: tentang mereka yang gugur, yang mungkin tidak pernah sempat berpamitan, tidak pernah sempat didengar suaranya, tapi justru menjadi pondasi dari kehidupan yang kita nikmati hari ini.
Puisi “Gema yang Tak Mati” mencoba menangkap perasaan duka, syukur, dan rasa bersalah yang kadang datang bersamaan saat mengenang para pahlawan. Saya membayangkan mereka berdiri diam di antara tembok sunyi, masih menjaga tanah ini meski tubuh mereka telah lama tiada. Dalam puisi ini, saya ingin menyampaikan bahwa suara mereka tidak pernah benar-benar hilang. Mereka menggema—dalam lagu, dalam tanah, dan dalam jiwa bangsa yang berutang pada keberanian mereka.
Karya ini adalah bentuk kecil dari rasa hormat yang mungkin tak pernah cukup. Sebuah usaha untuk menghidupkan kembali nama-nama yang gugur, bukan hanya sebagai bagian dari sejarah, tapi sebagai gema yang terus mengingatkan kita: bahwa merdeka bukan hadiah, tapi warisan berdarah yang harus dijaga.
Baca juga: Cahaya di Balik Kata (cerpen)