Kata-kata dari bahasa yang berada di China bermunculan di sekitar kita. Satu di antaranya adalah ”barongsai”. Benarkah kata ini berasal dari kata ”barong” dan ”sai”?
Sebagai bahasa yang berawal dari lingua franca, bahasa Indonesia memang sangat mungkin ”dilengkapi” berbagai kata serapan. Selain dari bahasa Barat (Belanda, Inggris, Portugis, dan lain-lain) dan bahasa Arab, bahasa kita banyak menyerap kata dari bahasa Hokkian.
Kata bahasa Hokkian yang masuk ke dalam bahasa Indonesia lebih dari 500. Yang paling banyak berasal dari bidang makanan, misalnya bakpia, bakcang, bakmi, bakpao, bihun, sekoteng, dimsum, capcai, dan bakwan. Bahasa Hokkian merupakan salah satu dari 56 bahasa yang ada di China (RRC). Bahasa lainnya, umpamanya, Hakka, Mandarin, dan Wu.
Jadi, persepsi sebagian besar masyarakat kita tentang bahasa Mandarin, yakni bahasa Mandarin dan ”bahasa China” adalah identik, tidak benar. Kosakata dari bahasa Hokkian banyak yang diserap bahasa Indonesia. Karena para pendatang asal China yang datang ke Indonesia awalnya mereka yang berbahasa Hokkian.
Menjelang dan semasa Imlek (kata ini berasal dari bahasa Hokkian). Bermunculan kata dan ungkapan dari bahasa-bahasa yang ada di China, seperti kionghi, gongxi, sincia, gongxi facai, sincun, dan xin nian. Bagaimana dengan kata barongsai? Dari bahasa manakah kata tersebut berasal?
Kata barongsai memiliki bentuk yang unik, yakni seperti bahasa dari China, tetapi ada kata barong, yang dalam bahasa Indonesia juga ada. Jadi, apakah barongsai merupakan serapan atau ciptaan penutur bahasa Indonesia?
Seperti kata bakso, yang tidak dikenal di negeri asalnya (RRC), dalam bahasa Mandarin yang merujuk konsep tarian singa disebut wu shi. Sementara itu, kata barongsai dalam bahasa Hokkian adalah bulangsai (bu = menari; lang = bermain; sai = singa). Tampak kata barongsai memiliki kemiripan bunyi dengan kata bulangsai.
Proses penyerapan demikian, yang berdasarkan penyesuaian sistem bunyi (fonotaktis, fonem, dan lain-lain), sangat lazim dalam bahasa kita. Contohnya, kulkas dari koelkast (bahasa Belanda). Demikian pula kata montir dari bahasa Belanda: monteur.
Yang membedakan dari kedua kasus ini dengan penyerapan kata barongsai adalah penyerapannya tidak semata-mata berdasarkan penyesuaian sistem bunyi. Terjadi ”penyesuaian” dengan kata barong yang sudah menempel dalam sistem leksikal di otak penutur bahasa Indonesia. Ketika telinga penutur mendengar kata bulungsai, kata barong ini muncul di benak penutur karena motivasi fonologis, morfologis, dan semantic.
Alhasil, terciptalah bentuk barongsai, yang sudah akrab dan mudah dimengerti para penutur bahasa Indonesia. Dengan begitu, keterterimaan dan sosialisasinya lebih mudah. Lebih jauh, kata itu menjadi hidup di kalangan penutur bahasa Indonesia dan telah dicatat oleh KBBI.
Adapun asumsi barongsai merupakan perpaduan kata bahasa Indonesia barong dan kata bahasa Hokkian, sai, terasa lemah. Pertama, penutur menciptakan kata selalu secara intuitif berdasarkan pola gramatikal yang ada di otaknya. Jadi, tidak mungkin, bentuk sai yang tidak ada dalam sistem leksikalnya muncul untuk membentuk kata barongsai. Kedua, kata barong sudah memiliki komponen makna ’singa atau binatang’, sementara sai juga bermakna ’singa’. Akan terjadi kelewahan di sini. Ketiga, tidak ada pola bentukan dengan kata sai.
Sumber : https://www.kompas.id/baca/dikbud/2022/02/03/barongsai